Kekerasan
adalah “ritual” simbolik yang kerap hadir dalam labirin sepak bola. Di
negara mana pun, (akan) selalu ada chaos yang terselip di sela-sela
tribun, di luar stadion, atau di jalanan ketika laga telah berakhir. Di
satu sisi, habitus kekerasan tersebut adalah sesuatu yang horor, jika
kita tilik dari asas kapital logika industrialisasi. Tapi di sisi lain,
kekerasan adalah daya tarik. Setidaknya inilah yang saya amini.
Membicarakan
kekerasan dalam sepak bola tentu tak dapat lepas dari kehadiran para
Ultras. Italia menduduki tempat pertama sebagai produsen Ultras ternama
di dunia. Anda akan mendapati banyak nama di internet jika berkenan
mencari: Duo Milan memiliki Brigate Rossonere dan The Boys, Yellow-blue Brigade Verona dari Hellas Verona, Viola Club Viesseux kepunyaan Fiorentina, Naples Ultras bentukan Napoli, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino, For Ever Ultras Bologna, Juventus Fighters, Black and Blue Brigade Atalanta, Commando Ultras Curva Sud, dan masih banyak lagi.
Salah
satu poin menarik dalam Ultras adalah kesamaan karakter: fanatisme
berlebih. Mereka, misalnya, tak akan pernah berhenti bernyanyi jika laga
belum usai. Bahkan ada yang tak akan sudi duduk, sekalipun laga
tersebut mencapai babak perpanjangan waktu. Para Ultras juga sebisa
mungkin akan terus menonton langsung tim kesayangannya di stadion mana
pun, termasuk di luar negeri. Jika ada seorang ultras yang sanggup
menonton tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, maka hal tersebut menjadi
kehormatan tersendiri di kalangan ultras lain.
Kebiasaan Ultras
lain tentu saja menyangkut ke ranah kekerasan. Mereka akan terus
melancarkan intimidasi kepada (suporter) lawan, termasuk dengan cara
yang brutal. Membunuh, misalnya.
Pada Oktober 1979, Vincenzo
Paparelli, yang merupakan seorang Irriducibili (Ultras Lazio) meninggal
sesudah dilempari bom api dalam derby melawan AS Roma. Contoh kasus
lain: dalam laga Inter Milan kontra Ascoli tahun 1988, Nazzareno
Filippini, seorang suporter Ascoli tewas delapan hari sesudah bentrokan
karena luka-luka yang dideritanya sewaktu diserang The Boys.
Dalam
beberapa kasus brutalitas lainnya, ada gerombolan Ultras yang juga
menyerang Ultras berhaluan yang sama. Dan hal ini tak sekali dua
terjadi. Satu contoh, misalnya, ketika Andrea Vitone—yang notabene
seorang Roma Boys—tewas terpanggang dalam sebuah kereta yang
dibakar oleh Romanisti lainnya. Hal ini didasari kekesalan para Ultras
Roma lantaran kalah dari Bologna. Momen mengenaskan ini terjadi pada
medio 1982.
Kesamaan karakter lain yang dimiliki tiap Ultras adalah semboyan A.C.A.B atau All Cops Are Bastard.
A.C.A.B, yang secara epik pernah difilmkan dengan judul yang sama oleh
Stefano Sollima, merupakan adagium “pemersatu” para Ultras. Ketika
menghadapi polisi, para Ultras jauh lebih kesetanan ketimbang melawan
musuh Ultras lainnya. Satu contoh kasus dalam pengimplementasian A.C.A.B
ini adalah ketika laga antara Palermo dan Catania pada Februari 2007
silam. Kala itu, seorang polisi bernama Filippo Raciti terbunuh dalam
kericuhan antarsuporter Palermo dan Catania. Anda boleh mencari nama
Ivan Bogdanov untuk mencari tahu lebih banyak perihal kasus-kasus yang
menyangkut All Cops Are Bastard.
Tapi isu yang dibawa
Ultras tak melulu menyangkut sepak bola. Beberapa hal yang sering mereka
kemukakan adalah soal politik. Alberto Testa, salah satu penulis buku Football, Fascism and Fandom pernah berhasil menelusuri seluk beluk Roma Boys dan Irriducibili dan mendapati kenyataan betapa isu politik dalam kedua kelompok tersebut menjadi salah satu tema sentral mereka.
Menariknya,
hampir semua isu yang diangkat adalah isu yang notabene menyangkut
kepentingan kaum marjinal atau dalam istilah yang lebih leftist: “Kelas Pekerja”. Yang ironis adalah, Roma Boys dan Irriducibili justru cenderung berhaluan right wing.
Salah satu petinggi di Roma Boys,
misalnya, pernah berdiskusi panjang dengan Testa terkait protes mereka
terhadap pemerintah Italia yang mengurangi secara drastis pasokan
listrik di beberapa distrik kelas pekerja di Roma. Bahkan Roma Boys dan Irriducibili pernah melakukan sebuah aksi sosial-kolektif yang bertujuan membantu keluarga-keluarga kurang mampu di Roma.
Dan apa yang mereka bantu? Memberikan rumah.
Ya,
baik Roma Boys dan Irriducibili sama-sama bahu membahu membantu menjual
rumah dengan harga murah dan diskon yang tinggi, serta bebas bunga
hipotek. Beberapa bahkan diberikan gratis dan lengkap dengan
propertinya. Sepanjang yang saya tahu, belum pernah ada aksi sosial dari
kedua kubu Ultras yang notabene musuh besar hingga mencapai tahap
seperti ini.
Roma Boys dan Irriducibili pada
dasarnya memang dipisahkan oleh dua klub yang berbeda, tetapi ketika
membicarakan ideologi, keduanya adalah pemeluk neo-fasisme yang taat.
Dijelaskan Testa, salah seorang Romanisti pernah berbicara kepadanya,
bahwa jika ada seorang kawan Laziale neo-fasisnya diserang oleh Romanisti, maka tanpa ragu ia akan membantu kawan Laziale-nya tadi.
Sepak bola, dalam hal tersebut, tergantikan oleh utopianisme ideologi yang subtil.
Kesamaan ideologi tersebut juga pernah termaktub dalam beberapa zine yang mereka buat. Satu isu menarik, misalnya, Roma Boys dan Irriducibili
sama-sama pernah menyerukan penentangan mereka terhadap invasi Amerika
Serikat dan Inggris ke Irak. Isu yang lebih klasik lagi tentu saja soal
Israel – Palestina atau seruan anti-semit. Dan tak hanya di zine, mereka juga membawa isu tersebut ke dalam stadion.
Irriducibili menjadi
basis suporter yang paling sering menyerukan isu politik—dan tentu saja
paling “kanan”—di stadion. Pernah dalam sebuah pertandingan, mereka
membentangkan spanduk raksasa yang bertuliskan dukungan terhadap Zeljko
Razanotovic (yang jika ditulis dalam aksara Serbia Cyrillic menjadi:
Жељко Ражнатовић), penjahat perang Serbia yang menginisiasi perang
Yugoslavia 1990 silam. Dan secara terang-terangan pula Irriducibili bertindak atau memperlihatkan dukungan rasisme terhadap pemain kulit hitam dan imigran Italia.
Tentu saja, kendati memiliki sejarah yang kental dengan fasisme, tak semua Ultras di Italia berideologi yang sama. Brigate Autonome Livornesi,
yang merupakan Ultras Livorno, misalnya, secara telanjang melakukan
bentuk resistensi kepada barisan Ultras sayap kanan dengan berhaluan
komunisme. Tak terlalu mengherankan jika Ultras Livorno memilih
komunisme sebagai basis ideologis, sebab di sanalah partai komunis
pertama Italia pertama kali didirikan pada tahun 1921.
Membicarakan
Livorno dan sikap komunisnya tentu tak dapat lepas dari Christiano
Lucarelli. Dialah ikon pujaan seluruh suporter Livorno. Dialah sang “Che
Guevara” di pantai barat Italia. Dialah, yang dengan monumental
melakukan Clenched Fist di udara untuk kemudian menjadi antidot dari Fascist Salute
Paolo di Canio. Dan dia jugalah yang menggelontorkan uang satu juta
lira untuk memutus kontraknya di Torino demi kembali ke Livorno dan
berseru: “Some players buy themselves a Ferrari, or a yacht, for a billion lira. I bought myself a Livorno shirt. That’s all”.
Ketika
sepak bola saat ini telah berfungsi sebagai mesin pengeruk laba nomor
wahid, sebuah kesegaran tersendiri melihat kekerasan itu, melihat
fanatisme yang membabibuta tersebut. Beberapa dari pemuka humanisme
mungkin menilai bahwa apa yang dilakukan mereka tak lebih dari tindakan
barbar nan uncivilized, mencederai nilai-nilai kemanusiaan, dan kesucian sportifitas.
Tapi
para pemuka humanisme itu sepertinya lupa atau sengaja alpa untuk
melihat apa yang telah dilakukan para baron-baron minyak yang
mengekspansi Liga Inggris atau yang lebih dulu dilakukan para
pengusaha-politisi di Serie A beberapa dasawarsa lalu. Mengeruk kekayaan
sedemikian rupa dan memiskinkan sebagian banyak orang lainnya,
mengkhianati tradisi, meminggirkan suara minoritas, dan membunuh orang
secara perlahan-lahan, bagi saya, adalah tindakan yang jauh lebih tidak
beradab.
Kini, suara-suara terpinggirkan yang sering diserukan
Ultras kembali muncul di tengah pesta pora komersialisasi sepak bola. Di
Eropa, suara ini diterjemahkan dengan spanduk-spanduk bertuliskan
“Against Modern Football”. Mereka berseru tentang kemuakkan kepada para
juragan-juragan milyarder yang dengan seenak jidat merusak kesucian
sepak bola melalui kekuatan finansial.
Menurut hemat saya,
kehadiran Ultras dalam ranah sepak bola adalah keasyikan tersendiri.
Merasakan adrenalin yang meletup-letup, berkejaran dengan derap jantung
yang kian kencang, keringat yang menderas membasahi tubuh, adalah
sensasi liar yang indah dan tak terlupakan. Membicarakan sepak bola
tanpa menyangkut soal Ultras pada akhirnya sama saja seperti Anda
membicarakan film porno panjang lebar tapi tak pernah menonton Sasha
Grey:
Hambar!
sumber - http://bolatotal.com/suarabotoligans-eddward-793-sepak-bola-tanpa-ultras--film-porno-tanpa-sasha-grey.html