>>STAND AND SCREAM ONLY FOR DELTRAS | SALAM VIRUS DAMAI | WE ARE DELTAMANIA | SIDOARJO IS RED<<

Jumat, 22 Maret 2013

Sepak Bola Tanpa Ultras = Film Porno Tanpa Sasha Grey

Kekerasan adalah “ritual” simbolik yang kerap hadir dalam labirin sepak bola. Di negara mana pun, (akan) selalu ada chaos yang terselip di sela-sela tribun, di luar stadion, atau di jalanan ketika laga telah berakhir. Di satu sisi, habitus kekerasan tersebut adalah sesuatu yang horor, jika kita tilik dari asas kapital logika industrialisasi. Tapi di sisi lain, kekerasan adalah daya tarik. Setidaknya inilah yang saya amini.


Membicarakan kekerasan dalam sepak bola tentu tak dapat lepas dari kehadiran para Ultras. Italia menduduki tempat pertama sebagai produsen Ultras ternama di dunia. Anda akan mendapati banyak nama di internet jika berkenan mencari: Duo Milan memiliki Brigate Rossonere dan The Boys, Yellow-blue Brigade Verona dari Hellas Verona, Viola Club Viesseux kepunyaan Fiorentina, Naples Ultras bentukan Napoli, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino, For Ever Ultras Bologna, Juventus Fighters, Black and Blue Brigade Atalanta, Commando Ultras Curva Sud, dan masih banyak lagi.

Salah satu poin menarik dalam Ultras adalah kesamaan karakter: fanatisme berlebih. Mereka, misalnya, tak akan pernah berhenti bernyanyi jika laga belum usai. Bahkan ada yang tak akan sudi duduk, sekalipun laga tersebut mencapai babak perpanjangan waktu. Para Ultras juga sebisa mungkin akan terus menonton langsung tim kesayangannya di stadion mana pun, termasuk di luar negeri. Jika ada seorang ultras yang sanggup menonton tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, maka hal tersebut menjadi kehormatan tersendiri di kalangan ultras lain.

Kebiasaan Ultras lain tentu saja menyangkut ke ranah kekerasan. Mereka akan terus melancarkan intimidasi kepada (suporter) lawan, termasuk dengan cara yang brutal. Membunuh, misalnya.

Pada Oktober 1979, Vincenzo Paparelli, yang merupakan seorang Irriducibili (Ultras Lazio) meninggal sesudah dilempari bom api dalam derby melawan AS Roma. Contoh kasus lain: dalam laga Inter Milan kontra Ascoli tahun 1988, Nazzareno Filippini, seorang suporter Ascoli tewas delapan hari sesudah bentrokan karena luka-luka yang dideritanya sewaktu diserang The Boys.

Dalam beberapa kasus brutalitas lainnya, ada gerombolan Ultras yang juga menyerang Ultras berhaluan yang sama. Dan hal ini tak sekali dua terjadi. Satu contoh, misalnya, ketika Andrea Vitone—yang notabene seorang Roma Boys—tewas terpanggang dalam sebuah kereta yang dibakar oleh Romanisti lainnya. Hal ini didasari kekesalan para Ultras Roma lantaran kalah dari Bologna. Momen mengenaskan ini terjadi pada medio 1982.

Kesamaan karakter lain yang dimiliki tiap Ultras adalah semboyan A.C.A.B atau All Cops Are Bastard. A.C.A.B, yang secara epik pernah difilmkan dengan judul yang sama oleh Stefano Sollima, merupakan adagium “pemersatu” para Ultras. Ketika menghadapi polisi, para Ultras jauh lebih kesetanan ketimbang melawan musuh Ultras lainnya. Satu contoh kasus dalam pengimplementasian A.C.A.B ini adalah ketika laga antara Palermo dan Catania pada Februari 2007 silam. Kala itu, seorang polisi bernama Filippo Raciti terbunuh dalam kericuhan antarsuporter Palermo dan Catania. Anda boleh mencari nama Ivan Bogdanov untuk mencari tahu lebih banyak perihal kasus-kasus yang menyangkut All Cops Are Bastard.

Tapi isu yang dibawa Ultras tak melulu menyangkut sepak bola. Beberapa hal yang sering mereka kemukakan adalah soal politik. Alberto Testa, salah satu penulis buku Football, Fascism and Fandom pernah berhasil menelusuri seluk beluk Roma Boys dan Irriducibili dan mendapati kenyataan betapa isu politik dalam kedua kelompok tersebut menjadi salah satu tema sentral mereka.

Menariknya, hampir semua isu yang diangkat adalah isu yang notabene menyangkut kepentingan kaum marjinal atau dalam istilah yang lebih leftist: “Kelas Pekerja”. Yang ironis adalah, Roma Boys dan Irriducibili justru cenderung berhaluan right wing.

Salah satu petinggi di Roma Boys, misalnya, pernah berdiskusi panjang dengan Testa terkait protes mereka terhadap pemerintah Italia yang mengurangi secara drastis pasokan listrik di beberapa distrik kelas pekerja di Roma. Bahkan Roma Boys dan Irriducibili pernah melakukan sebuah aksi sosial-kolektif yang bertujuan membantu keluarga-keluarga kurang mampu di Roma.

Dan apa yang mereka bantu? Memberikan rumah.

Ya, baik Roma Boys dan Irriducibili sama-sama bahu membahu membantu menjual rumah dengan harga murah dan diskon yang tinggi, serta bebas bunga hipotek. Beberapa bahkan diberikan gratis dan lengkap dengan propertinya. Sepanjang yang saya tahu, belum pernah ada aksi sosial dari kedua kubu Ultras yang notabene musuh besar hingga mencapai tahap seperti ini.

Roma Boys dan Irriducibili pada dasarnya memang dipisahkan oleh dua klub yang berbeda, tetapi ketika membicarakan ideologi, keduanya adalah pemeluk neo-fasisme yang taat. Dijelaskan Testa, salah seorang Romanisti pernah berbicara kepadanya, bahwa jika ada seorang kawan Laziale neo-fasisnya diserang oleh Romanisti, maka tanpa ragu ia akan membantu kawan Laziale-nya tadi.

Sepak bola, dalam hal tersebut, tergantikan oleh utopianisme ideologi yang subtil.

Kesamaan ideologi tersebut juga pernah termaktub dalam beberapa zine yang mereka buat. Satu isu menarik, misalnya, Roma Boys dan Irriducibili sama-sama pernah menyerukan penentangan mereka terhadap invasi Amerika Serikat dan Inggris ke Irak. Isu yang lebih klasik lagi tentu saja soal Israel – Palestina atau seruan anti-semit. Dan tak hanya di zine, mereka juga membawa isu tersebut ke dalam stadion.

Irriducibili menjadi basis suporter yang paling sering menyerukan isu politik—dan tentu saja paling “kanan”—di stadion. Pernah dalam sebuah pertandingan, mereka membentangkan spanduk raksasa yang bertuliskan dukungan terhadap Zeljko Razanotovic (yang jika ditulis dalam aksara Serbia Cyrillic menjadi: Жељко Ражнатовић), penjahat perang Serbia yang menginisiasi perang Yugoslavia 1990 silam. Dan secara terang-terangan pula Irriducibili bertindak atau memperlihatkan dukungan rasisme terhadap pemain kulit hitam dan imigran Italia.

Tentu saja, kendati memiliki sejarah yang kental dengan fasisme, tak semua Ultras di Italia berideologi yang sama. Brigate Autonome Livornesi, yang merupakan Ultras Livorno, misalnya, secara telanjang melakukan bentuk resistensi kepada barisan Ultras sayap kanan dengan berhaluan komunisme. Tak terlalu mengherankan jika Ultras Livorno memilih komunisme sebagai basis ideologis, sebab di sanalah partai komunis pertama Italia pertama kali didirikan pada tahun 1921.

Membicarakan Livorno dan sikap komunisnya tentu tak dapat lepas dari Christiano Lucarelli. Dialah ikon pujaan seluruh suporter Livorno. Dialah sang “Che Guevara” di pantai barat Italia. Dialah, yang dengan monumental melakukan Clenched Fist di udara untuk kemudian menjadi antidot dari Fascist Salute Paolo di Canio. Dan dia jugalah yang menggelontorkan uang satu juta lira untuk memutus kontraknya di Torino demi kembali ke Livorno dan berseru: “Some players buy themselves a Ferrari, or a yacht, for a billion lira. I bought myself a Livorno shirt. That’s all”.

Ketika sepak bola saat ini telah berfungsi sebagai mesin pengeruk laba nomor wahid, sebuah kesegaran tersendiri melihat kekerasan itu, melihat fanatisme yang membabibuta tersebut. Beberapa dari pemuka humanisme mungkin menilai bahwa apa yang dilakukan mereka tak lebih dari tindakan barbar nan uncivilized, mencederai nilai-nilai kemanusiaan, dan kesucian sportifitas.

Tapi para pemuka humanisme itu sepertinya lupa atau sengaja alpa untuk melihat apa yang telah dilakukan para baron-baron minyak yang mengekspansi Liga Inggris atau yang lebih dulu dilakukan para pengusaha-politisi di Serie A beberapa dasawarsa lalu. Mengeruk kekayaan sedemikian rupa dan memiskinkan sebagian banyak orang lainnya, mengkhianati tradisi, meminggirkan suara minoritas, dan membunuh orang secara perlahan-lahan, bagi saya, adalah tindakan yang jauh lebih tidak beradab.

Kini, suara-suara terpinggirkan yang sering diserukan Ultras kembali muncul di tengah pesta pora komersialisasi sepak bola. Di Eropa, suara ini diterjemahkan dengan spanduk-spanduk bertuliskan “Against Modern Football”. Mereka berseru tentang kemuakkan kepada para juragan-juragan milyarder yang dengan seenak jidat merusak kesucian sepak bola melalui kekuatan finansial.

Menurut hemat saya, kehadiran Ultras dalam ranah sepak bola adalah keasyikan tersendiri. Merasakan adrenalin yang meletup-letup, berkejaran dengan derap jantung yang kian kencang, keringat yang menderas membasahi tubuh, adalah sensasi liar yang indah dan tak terlupakan. Membicarakan sepak bola tanpa menyangkut soal Ultras pada akhirnya sama saja seperti Anda membicarakan film porno panjang lebar tapi tak pernah menonton Sasha Grey:

Hambar!


sumber - http://bolatotal.com/suarabotoligans-eddward-793-sepak-bola-tanpa-ultras--film-porno-tanpa-sasha-grey.html