Minggu, 11 November 2007. Terjadi beberapa kerusuhan di Kota Roma.antara
pendukung Lazio dan ultras Juventus. Di sebuah SPBU di Badia al Pino di
Arezzo polisi berusaha membubarkan sebuah bentrokan. Gabriele Sandri,
seorang DJ yang pendukung Lazio berada di tempat dan waktu yang salah,
duduk di dalam mobilnya di sekitar tempat itu. Sebuah peluru yang
dilepaskan seorang personel polisi kota Roma bernama Luigi Spaccarotella
menembus leher Sandri. Sandri menghembuskan nafas terakhirnya.
Kerusuhan merebak di seantero Italia, ultras dari semua klub di Italia
memprotes brutalisme polisi tersebut. Mereka, saat itu, tidak lagi
mengidentifikasikan diri mereka dengan klub yang didukungnya, tetapi
mereka sebagai keluarga besar ultras merasa terzalimi.
Pemakaman Sandri diadakan Rabu, 14 November 2007, diawali misa di gereja
setempat. Ribuan ultras dari berbagai klub di Italia, hari itu datang
memberikan penghormatan terakhirnya kepada Sandri. Ultras dari semua
klub di Italia berbaur, melupakan sementara semua rivalitas. Di hari
Rabu itu semua ultra Italia bersatu.
Di bawah ini adalah sebuah catatan harian seorang remaja pendukung AS
Roma, klub sekota dan rival abadi Lazio, yang menuliskan pengalamannya
menghadiri upacara penghormatan bagi Sandri:
“Pemakaman Gabriele Sandri akan dilakukan hari ini di gereja paroki
tempat dia menerima Sakramen Pemandian, beberapa tahun yang lalu. Gereja
ini terletak di Piazza Baldunia, tak jauh dari rumah dan toko
keluarganya, yang dikelola Sandri. Saya memutuskan untuk menghadirinya.
Sebagian untuk menunjukkan rasa hormat saya padanya, sebagian lagi
karena kejadian ini membuat saya marah. Sisanya karena rasa keinginan
tahu saya.”
“Saya naik bus nomor 913 dari halte Metro di Lepanto. Seorang pria
berusia empatpuluhan dan membawa payung yang terlipat naik ke bus
sebelum saya, sambil mengamati peta kecil yang kelihatannya dicetak dari
internet. Saya mengintip dari balik bahunya, ternyata peta itu
menunjukkan rute ke arah gereja. Saya sendiri tidak membawa peta,
walaupun saya belum pernah bepergian ke bagian barat daya kota Roma,
karena mengira cukup mudah untuk menemukan lokasinya.”
“Bus sangat penuh. Sekitar setengah lusinan remaja dengan topi dan syal
AS Roma tertawa riang dan bercanda di bagian belakang bus. Dua gadis
mungil berambut pirang berusia sekitar 20 tahun berdiri dalam
keheningan. Mereka mengenakan jaket hitam dengan logo birulangit dan
putih Lazio serta emblem bendera Italia di lengannya. Kata
“Irriducibili” tercetak di bagian depan. Di setiap halte makin banyak
orang dengan syal Lazio naik dan membuat bus makin penuh saja. Seorang
pria paruh baya bertanya kepada mereka, apakah mereka kenal dengan
Gabriele Sandri. Mereka menjawab tidak, tetapi mereka tahu nama
pembunuhnya. Pria itu hanya mengatakan bahwa keadaan akan tetap sama
saja. Seorang perempuan berusia tigapuluhan bercelana ketat meneruskan
bahwa kejadian ini menunjukkan bahwa kita tidak akan pernah bisa
memercayai polisi.”
“Kami turun dari bus dan berjalan ke arah taman di depan gereja. Gerimis
mulai turun. Waktu menunjukkan pukul 11.40 dan taman penuh sesak
dipadati orang. Beberapa orang membentuk pagar betis di tangga menuju
gereja, menahan kerumunan massa yang memenuhi empat penjuru taman.
Sebagian besar massa adalah pemuda, tetapi jumlah perempuan dan lanjut
usia pun cukup banyak. Media memperkirakan paling tidak 5.000 orang ada
di sana saat itu.”
“Kelompok ultras dari seluruh Italia terwakili. Saya melihat kelompok
dari Juventus, Taranto, Avellino, Milan Varese, Genoa, Cremonese dan
Livorno serta banyak kelompok lain yang tidak saya kenali syalnya, dari
klub mana. Saya menyeruak kerumunan orang hingga mencapai pagar di mana
terdapat tumpukan tinggi bunga dan syal dari berbagai klub,
dilatarbelakangi tilisan KEADILAN BAGI SANDRI. Di antara syal Lazio saya
melihat syal AS Roma, Udinese, Palermo, Messina dan banyak lagi.
Karangan bunga tidak hanya berasal dari teman-teman Sandri dan pendukung
Lazio, tetapi juga dari Antonello Venditti, pimpinan ultras AS Roma.
Juga dari petinggi ultras Napoli, Sampdoria dan Torino. Bahkan saya juga
melihat karangan bunga berwarna ungu-hitam dari Fossa dei Leoni, yang
telah bubar dua tahun silam.”
“Sementara di dalam gereja sudah penuh-sesak oleh keluarga, kerabat dan
wakil pemerintah Italia. Ada Walter Veltroni dan Luciano Spaletti. Dan,
Francesco Totti yang menangis ketika dia memeluk ibunda Sandri. Seluruh
skuad tim Lazio dan tim-tim usia mudanya lengkap hadir di sana, termasuk
pelatih Delio Rossi.”
“Kami yang berada di luar tentu saja tidak dapat melihat atau mendengar
upacara di dalam gereja. Semuanya hening. Hanya sesekali terdengar tepuk
tangan ketika tim Lazio dan keluarga mereka tiba. Saya berdiri di dekat
para tokoh Irriducibili. Satu diantaranya memiliki tattoo di leher
kanannya: ACAB (All Cops Are Bastards = Semua Polisi Anak Haram). Saya
berpindah tempat, sementara hujan makin deras. Tepukan tangan berhenti
ketika pemain Lazio terakhir masuk gereja. Kami berdiri dalam
keheningan. Di depan saya ada seorang perempuan berusia limapuluhan,
seorang diri, memakai syal Lazio sambil meremas-remas saputangan di
tangannya.”
“Orang-orang di belakang saya berbincang perlahan dengan bahasa Italia
yang bukan beraksen Roma. Pimpinan Banda Noantri tiba dan berdiskusi
sejenak dengan pimpinan Irriducibili. Ketua mereka dipenuhi tattoo
bergambar salib, simbol-simbol fasisme dan simbol Lazio. Waktu terus
berjalan, makin banyak orang berdatangan. Saya berusaha mengabaikan
bahwa mantel saya yang tidak tahan air sebentar lagi akan tak berguna.”
“Lewat pukul 13.00 misa berakhir dan terdengar gemuruh tepuk tangan
ketika peti jenazah Sandri diusung keluar. Ultras dari berbagai klub
kompak meneriakkan “Gabriele uno di noi” atau “Gabriele, kamu bagian
dari kami.” Sebagian massa mulai menyanyikan sebuah lagu. Awalnya tak
bergitu jelas, tetapi akhirnya ternyata itu lagi “Vola Lazio Vola”.
Sebelumnya saya hanya mendengar sayup-sayup lagu itu ketika berada di
Curva Sud dan tenggelam dalam sorakan giallorossi di sekitar saya.”
“Fans Lazio di seberang taman mulai bernyanyi dengan suara keras, dan
perempuan tua di depan saya tadi, ikut bernyanyi dengan suara bergetar.
Saputangannya kini telah benar-benar lusuh. Hujan bertambah deras,
perempuan di depan saya akhirnya tak kuat lagi menahan emosinya dan
menangis terisak-isak di tengah demuruhnya nyanyian “Lazio sul prato
verde vola, Lazio tu non sarai mai sola, Vola un’aquila nel cielo, piu
in alto sempre volerà ”. Untunglah saya membawa tissue, karena saya juga
mulai menangis.”
“Usai bernyanyi, terdengar beberapa yel “Gabriele sempre con noi” lagi.
Beberapa orang sempat melantunkan nyanyian anti-polisi tetapi segera
dicegah temannya. Diawali beberapa orang, akhirnya kami semua
menyanyikan lagu kebangsaan Italia. Para pimpinan Irriducibili dan Banda
Noantri tegap memberikan hormat ala Romawi dengan tangan kanan
terangkat ketika peti jenazah Sandri melewati mereka, tanpa yel, tanpa
slogan, hanya sebuah penghormatan.”
“Massa mulai mencair dan meninggalkan tempat di bawah lebatnya hujan.
Para pemain Lazio menaiki bus tepat di depan saya dengan hening, dan
duduk di dalamnya. Mereka menghapus uap air dari jendela dan memandangi
kami dengan pandangan kosong. Pemain Lazio Mundingayi bahkan menempelkan
wajahnya di jendela bus. Kami memandang mereka kembali. Seorang anak
kecil melambai kepada mereka dan bertepuk tangan. Massa meninggalkan
tempat sama heningnya dengan saat mereka datang. Pulang ke rumah
masing-masing. Sekitar seribu orang ultras Lazio menuju Olimpico,
berkumpul di bawah Curva Nord dan menyanyikan lagu-lagu Lazio.”
“Mentalitas ultras memang beragam. Sebagian baik, sebagian buruk. Tetapi
hari ini saya belajar tentang suatu hal. Hari ini mereka berdatangan
dari berbagai kota: Milan, Torino, Udinese,Napoli, Taronto, Palermo;
dengan biaya mereka sendiri, berdiri dua jam di bawah derasnya hujan,
untuk datang memberikan penghormatan terakhir kepada seorang yang tidak
mereka kenal. Mereka bertepuk tangan untuk keluarga dan kerabat yang
berduka, menyanyikan sebuah nama yang bahkan tidak dikenalnya seminggu
yang lalu. Dan mereka membubarkan diri dalam damai. Anda mungkin
menganggap perbuatan mereka ini tidak masuk akal, tetapi masihkah Anda
menganggap bahwa semua ultras itu identik dengan kekerasan?”
Pengadilan memutuskan Luigi Spaccarotella bersalah dan menghukumnya 6
tahun penjara. Ketika Spaccarotella naik banding, pengadilan Italia
justru menambah hukumannya menjadi 9 tahun 4 bulan, karena menemukan
adanya unsur kesengajaan.
Sandri telah tiada di usianya yang belia. Tetapi Sandri adalah monumen
ultras di Italia, tidak hanya bagi Lazio. Curva Nord Olimpico kini
bernama Curva Nord Gabriele Sandri dan sebuah bangku dengan foto Sandri
sengaja dibuat di sana. Selalu dikosongkan sebagai penghormatan terhadap
dirinya. Karena Sandri akan selalu berada di hati semua ultras di
Italia. Sebuah yayasan bernama Fondazione Gabriele Sandri didirikan dan
tetap beraktivitas hingga hari ini.
sumber: http://galuhtrianingsihlazuardi.blogspot.com/2012/09/hari-ketika-ultras-bersatu.html